Rupiah Sentuh Level Terlemah dalam 18 Bulan Terakhir

Dalam dua hari terakhir, Rupiah terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tekanan datang dari luar dan dalam negeri membuat rupiah menyentuh level terlemah dalam 18 bulan terakhir.

Setelah terpuruk 0,57% ke Rp 14.762/US$, terlemah sejak 5 Oktober 2020, rupiah berhasil memangkas pelemahan dan mengakhiri perdagangan Selasa (14/6/2022) di Rp 14.695/US$, melemah 0,12%.

Kemarin, rupiah jeblok 0,88%, menjadi penurunan terbesar sejak Februari 2021 lalu. Artinya dalam 2 hari terakhir rupiah merosot 1%.

Inflasi yang semakin meninggi di Amerika Serikat memberikan tekanan dari eksternal, menjadi biang kerok jebloknya rupiah. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS pada Mei 2022 melesat 8,6% year-on-year (yoy). Naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.

Ketika inflasi tinggi, maka daya beli masyarakat akan menurun. Konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian akan terpukul.

Guna meredam inflasi tersebut, The Fed akan sangat agresif menaikkan suku bunga. Di akhir tahun ini, suku bunga The Fed diperkirakan berada di 3,5% – 3,75%, berdasarkan perangkat FedWatch miilik CME Group, dengan probabilitas sebesar 41%.

Baca juga: Pasar Kripto Masih Terpuruk, Apa Sih Penyebabnya?

Probabilitas tersebut kini menjadi yang terbesar, padahal pada pekan lalu masih diperkirakan berada di kisaran 2,75% – 3%.

Suku bunga berada dalam posisi netral, artinya tidak memacu pertumbuhan ekonomi tetapi juga tidak melambat diperkirakan berada di 2,5%. Artinya jika suku bunga The Fed di atas itu, maka perekonomian bisa melambat, sebab ekspansi dunia usaha dan konsumen rumah tangga akan semakin tertahan.

Seandainya dengan suku bunga tinggi inflasi masih belum melandai, maka Amerika Serikat terancam kembali mengalami resesi.

Tanda-tanda Amerika Serikat akan mengalami resesi semakin menguat setelah yield obligasi AS (Treasury) kembali mengalami inversi Senin kemarin. Artinya sepanjang tahun ini, sudah 2 kali inversi terjadi.

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat dalam 6 sampai 24 bulan ke depan.

Indonesia memang belum berisiko mengalami resesi, tetapi ketika perekonomian AS merosot maka produk domestik bruto (PDB) dalam negeri juga ikut terseret. Selain itu, risiko resesi malah membuat permintaan dolar AS sebagai safe haven meningkat. Hal tersebut akhirnya membuat rupiah terpuruk.

 

Sumber

Baca juga: Bitcoin Turun Lagi ke Level $21.000!

Tags: