Dolar Australia Anjlok, Apa Penyebabnya?

Kamis kemarin dolar Australia sempat menguat melawan rupiah ke Rp 10.474/AU$, tetapi di penutupan perdagangan malah jeblok 0,84%. Pada perdagangan Jumat (10/6/2022), dolar Australia bahkan sempat jeblok ke bawah Rp 10.300/US$.

Melansir data Refinitiv, dolar Australi pagi tadi jeblok hingga 0,6% ke Rp 10.272/AU$ yang merupakan titik terendah dalam 3 pekan terakhir.

Pergerakan dolar Australia tersebut dipengaruhi oleh China, mitra dagang utamanya. Penguatan hingga nyaris mencapai Rp 10.500 kemarin terjadi setelah rilis data neraca perdagangan yang menunjukkan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut masih kuat.

Ekspor pada Mei dilaporkan melesat 16.9% (year-on-year/yoy), jauh lebih tinggi ketimbang prediksi hasil surveiReuters8%. Sementara impor juga tumbuh 4,1% (yoy), lebih tinggi dari prediksi 2%.

“Kinerja ekspor sangat impresif dalam konteks banyaknya kota yang di-lockdown pada bulan lalu,” kata Stephen Innes, managing partner di SPI Asset Management, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters hari ini.

Baca juga: Indeks Dolar AS Anjlok 1,3%, Rupiah Siap Menguat?

Melonjaknya ekspor tersebut membuat surplus neraca dagang pada Mei sebesar US$ 78,76 miliar, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya US$ 51,12 miliar dan ekspektasi US$ 58 miliar.

Namun, dolar Australia langsung berbalik melemah setelah China kembali menerapkan lockdown.

Per 1 Juni lalu, pemerintah China memang sudah membuka ‘gembok’ di sejumlah wilayah, karantina wilayah (lockdown) resmi dicabut.

Namun dalam hitungan hari,lockdown datang lagi. Distrik Minhang di Shanghai kembali ‘dikunci’ karena kenaikan kasus positif harian Covid-19. Warga Minhang diminta untuk #dirumahaja selama dua hari untuk mencegah risiko penularan.

Lockdown tersebut tentunya berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi China lagi, yang akan berdampak negatif ke Australia, bahkan dunia.

 

Sumber

Baca juga: Volatilitas Belum Berakhir, Pasar Kripto Masih Koreksi