Pasar keuangan global yang masih mencatatkan kinerja negatif terus dihantui oleh berbagai ancaman yang pada akhirnya akan memperparah pelemahan tersebut.

Bahkan beberapa indeks sudah memasuki fase bear market. Yaitu label yang diberikan Wall Street untuk penurunan berkelanjutan di pasar yang mencerminkan pesimisme serius tentang prospek ekonomi.

Saham memasuki pasar bearish ketika indeks yang diikuti secara luas seperti S&P 500 atau Dow Jones Industrial Average turun 20% dari titik tertingginya.

Meski demikian, ambang tersebut bukan penentuan resmi, melainkan cara cepat Wall Street untuk memberi tanda saat pasar jatuh.

Meski ditutup naik tipis, S&P 500 sempat menyentuh bear market -20% di bawah puncaknya di Januari – pada perdagangan intraday Jumat (20/5) lalu, pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun.

Kondisi ini pada dasarnya menandakan bahwa saham telah turun signifikan, dan penurunan itu juga telah mendapatkan momentum. Sebagai catatan, sebagian besar analis mendasarkan perhitungan mereka pada level penutupan indeks, bukan perdagangan intraday.

Bear market adalah kebalikan dari bull market atau ketika indeks atau sekuritas telah naik 20% dari level terendah terakhir.

Meski dari sudut pandang mayoritas analis indeks S&P 500 belum secara resmi memasuki pasar bearish, saudaranya di Wall Street yakni Nasdaq Composite yang berisikan saham teknologi, telah resmi berada di pasar bearish sejak Maret.

Sementara itu Dow Jones Industrial Average, yang berisikan lebih banyak saham blue chip dari sektor industri dan perbankan, belum jatuh sebanyak S&P 500 dan masih relatif aman dari wilayah bearish, dengan penurunan 14,55% dari level tertinggi.

Baca juga: Penambang Bitcoin Terancam Rugi Besar

Berapa lama bear market bertahan?

Pasar modal AS terakhir kali merasakan bear market pada awal 2020, ketika kebijakan lockdown demi memperlambat wabah Covid-19 diterapkan.

Indeks Dow kembali ke bullish pada bulan Maret tahun itu setelah berada di bear market selama 11 hari perdagangan. S&P 500 membutuhkan 126 hari perdagangan untuk berayun dari rekor ke pasar bearish dan kembali ke level tertinggi baru kala itu.

Bahkan dengan ramainya gejolak pasar terbaru tahun 2022 ini, S&P 500 masih naik sekitar 75% dari level terendahnya di tahun 2020, pada 20 Mei.

Meski demikian, bear market jarang sesingkat itu. Bear market antara 2007 dan 2009 berlangsung 517 hari (termasuk hari non-perdagangan), menurut Yardeni Research Inc. Sebelumnya lagi dari tahun 2000 hingga 2002 berlangsung selama 929 hari.

Pasar saham terkadang juga bisa tarik-menarik di ambang batas bear market tanpa benar-benar mencapainya.

Pada 2011 dan 2018, S&P 500 turun 19% di level terendah karena aksi jual yang dalam. Meskipun beberapa sektor serta beberapa indeks lainnya, turun lebih dari 20%, kala itu indeks S&P secara teknis tidak menyentuh wilayah pasar bearish.

Bisa jadi sinyal resesi?

Sering kali bear market mendahului resesi. Tapi bear market hanya menggambarkan penurunan nilai saham atau surat berharga lainnya. Sedangkan resesi adalah penurunan umum dalam produksi barang dan jasa suatu negara. Biasanya diukur sebagai dua kuartal berturut-turut dengan pertumbuhan negatif.

Beberapa bear market memang tidak diikuti dengan resesi. Dari Depresi Hebat (1930) hingga akhir 2020, ada 17 bear market. Sembilan di antaranya disertai dengan resesi, menurut perusahaan manajemen investasi Invesco.

Hal tersebut mendukung teori ekonom pemenang hadiah Nobel Paul Samuelson. Ia pernah menulis bahwa indeks Wall Street telah meramalkan beberapa resesi terakhir.

Terlepas dari kondisi pasar saham yang bearish, kurva imbal hasil surat berharga AS juga mengalami inversi beberapa waktu lalu. Yang mana juga merupakan indikator awal sinyal resesi di Amerika Serikat.

Melemahnya pasar ekuitas AS tentu semakin membuat masyarakat khawatir akan prospek ekonomi AS jika sampai mengalami resesi.

Dilansir The Wall Street Journal, ekonom di Goldman Sachs memperkirakan ada kemungkinan 35% ekonomi AS memasuki resesi dalam dua tahun ke depan.

Perlambatan ekonomi, secara historis menjadi berita buruk bagi pasar saham: Sejak Perang Dunia II, S&P 500 telah jatuh rata-rata 30% dari puncak ke posisi terendah selama resesi.

 

Sumber

Baca juga: Inggris Terancam Resesi karena Inflasi

Tags: