PT Merdeka Battery Materials Akan Gelar IPO
PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) bakal menggelar penawaran umum perdana saham (initial public offering atau IPO). Rencananya, saham Merdeka […]
Rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Rabu (1/3/2023). Kabar baik datang dari sektor manufaktur dalam negeri yang terus menunjukkan ekspansi, sementara pelaku pasar juga menanti data inflasi.
Begitu perdagangan dibuka, rupiah menguat 0,1% ke Rp 15.230/US$ melansir data Refinitiv.
S&P Global Market hari ini melaporkan purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Februari sebesar 51,2. Sektor manufaktur masih berekspansi (angka di atas 50) tetapi menurun tipis dari bulan sebelumnya 51,3.
Ada beberapa catatan positif dari rilis tersebut. Permintaan dari dalam negeri dilaporkan semakin membaik yang membuat sektor manufaktur terus melakukan ekspansi secara moderat. Kemudian masalah rantai pasokan mulai teratasi serta tekanan inflasi mereda.
“Beberapa aspek positif dari rilis PMI terbaru yakni masalah rantai pasokan yang mulai teratasi. Suplier mengirimkan barang dalam waktu yang lebih singkat, ini menjadi yang pertama dalam satu tahun terakhir. Inflasi biaya juga mulai mereda, keduanya merefleksikan tekanan harga dari sisi supply yang menurun,” kata Jingyi Pan, Economics Associate Director di S&P Global Market Intelligence dalam rilisnya hari ini.
Rilis dari S&P Global Market tersebut sejalan dengan pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang menyebut ada lima faktor yang bisa membuat rupiah menguat.
“Ada 5 alasan nilai tukar rupiah akan menguat dan kembali ke fundamentalnya,” ungkap Perry dalam acara Economic Outlook 2023 dengan tema “Menjaga Momentum Ekonomi di Tengah Ketidakpastian” di Hotel St. Regis, Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Pertama, kata Perry adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia, bahkan lebih baik dibandingkan negara lain seperti China.
“Prospek ekonomi Indonesia baseline kami 4,9% dengan China lebih baik bisa 5% – 5,1%,” jelasnya
Kedua adalah inflasi yang terkendali di level yang rendah, meskipun beberapa waktu lalu ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ketiga, imbal hasil atau yield dari surat berharga negara (SBN) menarik.
“Keempat, kondisi neraca perdagangan dan defisit neraca pembayaran tetap surplus,” papar Perry.
Perry menambahkan, yang kelima adalah komitmen BI dalam menstabilkan nilai tukar dengan sederet instrumen. “Insyaallah dengan doa semua, stabilitas bisa terjaga,” pungkasnya.
Data inflasi Februari akan dirilis menjelang tengah hari oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Februari 2023 naik menjadi 5,40% secara tahunan (yoy), dari bulan sebelumnya sebesar 5,28%.
Baca juga: Harga Emas Menguat, Akankah Bertahan?
PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) bakal menggelar penawaran umum perdana saham (initial public offering atau IPO). Rencananya, saham Merdeka […]
Harga Bitcoin dan mata uang kripto lainnya turun pada hari Kamis (30/03) setelah lonjakan awal saat Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas […]
PT Industri Jamu Dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) atau Sido Muncul akan membagikan dividen tunai Rp 690 miliar untuk […]
CEO perusahaan investasi aset digital Galaxy Digital mengatakan kepada investor bahwa dia terkejut dengan jumlah perhatian terkait peraturan untuk kripto […]
CEO Twitter Elon Musk mengklaim valuasi Twitter sekitar USD 20 miliar atau sekitar Rp 301,28 triliun, menurut email yang dilihat […]
Krisis Perbankan Belum Usai, Begini Kata Joe Biden Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden angkat bicara terkait krisis perbankan yang […]
© 2020 Trader Harian. 3th Floor, WTC 3, Jl. Jend. Sudirman, Kav 29-31, Jakarta, Indonesia 12920.